1. Perbedaan Antara Massa dan Kelas
Mengapa sangat penting untuk mengenali perbedaan antara
massa dan kelas? Apa yang dapat terjadi, ketika kita tak mampu membedakan
keduanya berarti tak akan ada satupun praktik revolusioner yang memiliki
kesadaran. Kami bukannya sedang bermain dengan kata-kata. Lihat. Kita hidup di
dalam masyarakat massa. Dan semua itu tidak terjadi dengan sendirinya. Massa
adalah sebuah bentuk organisasi yang spesifik. Alasannya jelas. Konsumsi
diorganisir oleh korporasi. Produk yang mereka hasilkan mendefinisikan massa. Massa
bukannya sebuah klise—”massa”—tapi suatu rutinitas yang mendominasi
keseharianmu.
Memahami struktur pasar massa merupakan satu langkah ke
depan memahami apa yang terjadi pada perjuangan kelas.
Apakah massa itu? Banyak orang menganggap massa sebagai jumlah—seperti
halnya jalanan dan stadium yang ramai. Tapi struktur yang membentuknyalah yang
justru menentukan sifatnya. Massa adalah tumpukan orang-orang yang terpisah,
tercerabut, dan tak dikenal. Massa hidup di kota-kota yang secara fisik dekat
namun secara sosial terpisah. Kehidupan mereka terprivatisasi dan rusak.
Coca-cola dan kesepian. Eksistensi sosial massa—aturan-aturan dan regulasinya,
strukturisasi status, dan kepemimpinannya—diorganisasikan melalui konsumsi
(pasar massa). Mereka semua merupakan produk sebuah organisasi sosial
yang khusus, yaitu masyarakat kita.
Sudah pasti bahwa tiada satupun orang yang mengakui bahwa
mereka merupakan bagian dari massa. Selalu saja orang lain yang menjadi massa.
Masalahnya adalah bukan hanya korporasi yang mengorganisasikan kita semua
menjadi massa. “Gerakan” itu sendiri bersikap seperti halnya sebuah massa dan
pengorganisirnya mereproduksi hirarki massa.
Yakinlah, coba pikir bagaimana cara kalian meredam api?
Dengan air bukan. Hal yang sama berlaku juga untuk revolusi. Kita tidak melawan
massa (pasar) dengan (gerakan) massa. Kita melawan massa dengan kelas. Tujuan
kita bukan untuk menciptakan sebuah gerakan massa tapi sebuah kekuatan kelas.
Apa sih kelas itu? Kelas adalah sebuah kekuatan sosial
terorganisir yang memiliki kesadaran. Misalnya, kelas penguasa sadar akan
kelasnya oleh karena itu ia tidak hanya mengorganisir kelasnya, tapi juga
(massa) yang ia kuasai. Korporasi adalah kesadaran diri dan
kekuatan kolektif kelas penguasa. Kami bukannya berkata bahwa relasi kelas
sama sekali tidak eksis di ranah lainnya dalam masyarakat. Tapi relasi tersebut
akan selalu menjadi pasif selama mereka diatur hanya untuk kondisi-kondisi
obyektif (yaitu situasi kerja). Apa yang penting adalah partisipasi aktif
(subyektif) kelas itu sendiri. Prasangka kelas bukanlah kesadaran kelas. Suatu
kelas sadar akan eksistensi sosialnya karena ia berusaha untuk mengorganisir
dirinya. Massa tidak sadar akan eksistensi sosialnya karena ia diorganisasikan
oleh IBM dan Coca-Cola. Moral cerita adalah: massa tetaplah massa karena
ia diorganisasikan sebagai massa. Jangan terkecoh dengan nama-nama kemasan.
Massa sedang berpikir dengan bokongmu.
2. Keunggulan Kolektif
Grup kecil adalah orang-orang yang saling bertemu karena
adanya kebutuhan bersama. Bentuk seperti ini cenderung sering berfungsi untuk
melawan sifat massa—yang spesifiknya ingin melepaskan diri dari keseharian
hidup yang terisolasi dan struktur gerakan massa.
Masalahnya adalah seringkali grup seperti ini tak dapat
menciptakan suatu eksistensi independen dan identitasnya sendiri karena ia
terus mendefinisikan dirinya secara negatif, yaitu sebagai yang berlawanan.
Selama titik referensi mereka berada di luar semua itu,
politik grup tersebut cenderung mudah dipengaruhi oleh kejadian-kejadian dan
krisis.
Grup kecil dapat menjadi suatu tahapan menuju kolektif, bila
iamembangun sebuah kritik yang titik berangkatnya diperoleh dari
frustasi-frustasi yang disebabkan oleh orientasi luarnya. Terbentuknya sebuah
kolektif terjadi ketika orang-orang memiliki pandangan politis yang sama dan
sepakat tentang metode perjuangan.
Kenapa harus kolektif yang menjadi fokus utama organisasi?
Karena kolektif adalah alternatif dari struktur masyarakat yang ada sekarang
ini. Merubah relasi sosial lebih merupakan suatu proses ketimbang sebuah produk
revolusi. Dalam kata lain, kamu menciptakan revolusi dengan merubah
relasi-relasi sosial. Kamu harus sadar dalam membuat kontradiksi di dalam
sejarah.
Konkritnya, ini bermakna: organisir dirimu, bukan orang
lain. Kolektif merupakan pangkal organisasional sebuah masyarakat tanpa kelas.
Sebagai sebuah organisasi formal, kolektif menegasikan setiap bentuk hirarki.
Untuk mengatasi keterasingan adalah bagaimana membuat dirimu sebagai subyek,
bukannya obyek, dari sejarah.
Satu halangan sulit dalam pembentukan kolektif-kolektif
adalah periode transisional—ketika kolektif harus bertahan bahu-membahu
ditengah sifatnya yang disintegratif dan di dalam konteks masyarakat massa.
Disintegrasi gerakan bukanlah sebuah fenomena yang terisolir, tapi merupakan
suatu ekspresi melemahnya institusi-institusi masyarakat Amerika yang
bertanggung jawab akan keterasingan yang kita alami. Banyak orang
terdemoralisasi ketika mencapai proses ini dan bingung karena mereka secara tak
sadar masih bersandar pada eksistensi institusi-institusi tersebut. Kita sedang
menyaksikan perpecahan dan perubahan sebuah institusi yang integral dengan
masyarakat—pasar massa. Pasar massa merupakan struktur korporat di mana sangat
sedikit orang benar-benar menyadari bagaimana semua itu mempengaruhi kehidupan
politik kita. Kita benar-benar masih bersandar pada “pemimpin”, entah mereka
Chicago 7(1) atau 7up. Pemahaman kami tentang bentuk organisasi kolektif
berangkat melalui kritik terhadap kediktatoran produk dan massa.
Kontradiksi-kontradiksi yang hadir menegaskan bahwa siapapun
yang berniat membentuk sebuah kolektif, paham siapa mereka dan apa yang mereka
lakukan. Karena itulah kamu harus menganggap kolektifmu sebagai yang primer.
Karena, apabila kamu tak mempercayai legitimasi bentuk organisasi semacam ini,
kamu tak akan mempunyai analisis praksis dari apa yang sedang terjadi.
Jangan menipu dirimu sendiri. Usaha untuk membangun ketahanan dan
keberlangsungan kolektif dalam sejarah sekarang ini, akan menjadi sangat sulit.
Apa yang penting adalah bagaimana kolektif-kolektif bisa
menjadi bagian dari sejarah—bagaimana mereka mampu menjadi sebuah kekuatan
sosial. Tidak ada jaminan akan hal ini dan kita tak seharusnya menganggap
enteng. Keunikan dari membangun kolektif-kolektif adalah perpisahan tegasnya
dengan setiap bentuk organisasi hirakis untuk merekonstruksi sebuah masyarakat
tanpa kelas.
Pola pikir banyak pengorganisir radikal biasanya mentok di
seputar konsep gerakan massa. Bentuk perjuangan semacam ini, seradikal apapun
tuntutannya, tidak pernah mengancam struktur paling dasar—yaitu massa itu
sendiri.
Menimbang setiap kemungkinan yang ada, dibutuhkan usaha yang
kuat untuk membayangkan sebuah bentuk eksistensi yang baru. Ruang harus
diciptakan sebelum kita memikirkan hal-hal seperti ini agar mampu membangun
legitimasi untuk bertindak menurut hal-hal tersebut.
Bentuk kolektif adalah praksisnya. Kolektif berlawanan
dengan massa. Ia mengkontradiksikan struktur massa. Kolektif adalah anti-massa.
3. Parameter Jumlah Kolektif
Tujuan setiap organisasi adalah bagaimana membuatnya semudah
mungkin, atau seperti yang dipaparkan oleh Marshall McLuhan, “tinggi pada
partisipasi, rendah dalam definisi.” Kecenderungannya malah sebaliknya, karena
yang kami pahami dari bentuk organisasi yang ada adalah niatan untuk membentuk
suatu struktur adminstratif yang akan berurusan dengan permasalahan politik.
Banyak orang enggan membahas secara mendalam permasalahan
jumlah. Ada perasaan terpendam mengenai hal ini, entah itu karena tidak relevan
atau isunya dirasa tak terlalu penting untuk dibicarakan. Mari mengangkatnya.
Ukuran atau jumlah adalah pertanyaan tentang hubungan-hubungan sosial dan
politik, dan bukan administrasi. Pernahkah kamu bertanya-tanya kenapa subyek
semacam ini seringkali dihindari di rapat-rapat besar? Karena ia secara
gamblang menantang sifat represif organisas-organisasi besar. Grup kecil yang berfungsi
sebagai organ bentukan sebuah organisasi besar tidak akan pernah merasa sebagai
grup kecil.
Kolektif seharusnya tidak lebih besar dari sebuah band—tidak
termasuk orkestra. Ide mendasarnya adalah bagaimana mereproduksi kolektif,
bukan mengekspansinya. Kekuatan sebuah kolektif bersandar pada organisasi
sosial, bukan angka-angkanya. Sekali saja kamu berpikir mengenai merekrut
orang-orang, kenapa tidak sekalian bergabung dengan Angkatan Bersenjata saja.
Perbedaan antara ekspansi dan reproduksi sama seperti perbedaan antara menambah
dan membiakkan. Kekuatan eskpansi bersandar pada angka-angka/jumlah dan yang
disebut terakhir bersandar pada hubungan antara setiap orang.
Mengapa harus ada pembatasan jumlah? karena kita bukan
manusia super dan juga bukan budak. Terlepas dari poin-poin tertentu, grup
mengadakan sebuah rapat dan tanpa kamu sadari tiba-tiba kamu merasa harus
mengangkat tangan dan berbicara. Kolektif berarti mengetahui batas-batas
praktis percakapan. Fakta remeh ini merupakan basis bagi suatu pengalaman
sosial yang baru.
Hubungan-hubungan yang tak setara dapat dilihat dengan jelas
dan diatasi di dalam sebuah kolektif. “Apapun sifatnya otoritas di dalam
organisasi besar, ia juga inheren di dalam unit organisasi kecil.” (Chester
Barnard, The Function of Exectutives, 1938). Sebuah grup kecil
dengan seorang “pemimpin” merupakan inti dari sebuah masyarakat kelas.
Organisasi dalam ukuran kecil membatasi wilayah yang mana terdapat
kecenderungan individu untuk mendominasi. Poin-poin tersebut tepat dalam hubungan
internal dan eskternalnya.
Sekarang ini, bentuk perjuangan membutuhkan suatu bentuk
organisasi yang kuat dan gigih yang dapat membuat kita terhubung dengan
kehidupan sehari-hari dan kondisi-kondisi represifitas. Apabila kita tak dapat
menyelesaikan masalah seperti ini secara kolektif, berarti kita belum memiliki
kapasitas untuk menciptakan sebuah masyarakat yang baru.
Berlawanan dengan apa yang dipercayai banyak orang, yaitu,
logika “bersatu kita kuat bercerai kita runtuh”, justru akan lebih mudah melumpuhkan
sebuah organisasi besar yang sentralis ketimbang kolektif yang bertumbuh di
mana-mana tanpa komando sentral.
Ukuran adalah kunci keamanan. Namun peran terpentingnya
terletak pada bagaimana kolektif mereproduksi hubungan sosial yang baru—yang
prosesnya bisa dimulai sekarang juga.
Pembatasan jumlah/ukuran mengangkat permasalahan yang sulit.
Apa yang akan kamu katakan pada seseorang yang bertanya, “Bisa gak aku gabung
di kolektifmu?” Pertanyaan seperti ini sering menjadi alasan (seringkali tanpa
disadari) akan keragu-raguan dari bentuk organisasi kolektif. Kamu tak dapat
memisahkan kolektif dengan jumlahnya, karena ia harus tetap kecil untuk
bisa eksis. Kolektif memiliki hak untuk memecat individu karena tindakan
semacam ini menawarkan kesempatan bagi individu tersebut untuk membuat kolektif
sendiri, yaitu, membagi-bagi tanggung jawab organisasi. Ini merupakan jawaban
termudah dari pertanyaan di atas.
Sudah barang tentu, orang-orang akan menganggap kolektif itu
eksklusif. Tapi itu bukan poinnya. Ukuran kolektif yang kecil menjadi esensial
karena ia membuat batasan bagi otoritas.
Di sisi lain, organisasi besar, meski menerapkan keanggotaan
yang terbuka, struktur aktivitasnya bersifat eksklusif ketika berhubungan
dengan pembuatan keputusan dan partisipasi. Pilihannya adalah antara bergabung
dengan massa atau menciptakan kelas. Proyek revolusionernya adalah bagaimana
kita melakukannya sendiri. Ingat, Alexandra Kollontai(2) di tahun 1920
mengingatkan, “Esensi birokrasi adalah ketika orang ketiga menentukan nasibmu.”(3)
4. Kontak Antar Kolektif
Kolektif tidak berkomunikasi dengan massa. Kolektif
berhubungan dengan sesama kolektif. Bagaimana apabila kolektif lainnya belum
ada? Maka, tunggu sampai kolektif yang lain ada. Ya. Sudah barang tentu, bahwa
kolektif juga berkomunikasi dengan yang lainnya, tapi tidak dengan memandang
(yang lain) sebagai massa—sebagai seorang konstituen atau audiens. Kolektif
berkomunikasi dengan individu guna merangsang swa-organisasi. Ia harus yakin
bahwa orang-orang mampu mengorganisir diri mereka sendiri (swaorganisasi) dan
memilih cara yang seperti itu dibanding partisipasi massa. Kolektif sadar bahwa
membutuhkan waktu untuk membangun bentuk organisasi yang baru. Mudahnya,
kolektif bertujuan untuk mengikis bentuk massa.
Masalah “komunikasi” yang biasanya ditemukan belakangan ini
adalah orang-orang berpikir bahwa mereka harus berkomunikasi setiap saat. Kamu
bisa melihat orang-orang membuat peran-peran administratif untuk berurusan
dengan alur informasi sebelum mereka sama sekali tahu apa yang akan mereka
bicarakan. Kolektif tidak terobsesi dengan “berkomunikasi” atau “berhubungan”
dengan gerakan. Apa yang menjadi keberatannya adalah soal jumlah
kebisingan—panggilan telpon tanpa henti, surat-menyurat, pengumuman pertemuan,
dsb—yang digunakan untuk komunikasi. Sudah saatnya kita memikirkan dengan lebih
matang apa yang akan kita katakan dan bagaimana mengatakannya.
Apa yang kami maksud dengan kontak? Kami ingin memulainya
dengan mengusir birokrasi dari komunikasi. Idenya bermula dengan cukup
sederhana. Kontak adalah sentuhan dari setiap sisi. Hal yang paling esensial
darinya adalah sifatnya yang langsung dan dapat dipercaya. Dari mata ke mata.
Bentuk komunikasi lainnya—telepon, surat, dokumen,
dsb—seharusnya tidak pernah menggantikan kontak langsung. Malahan,
bentuk-bentuk komunikasi seperti itu hanya digunakan untuk merencanakan kontak
langsung.
Kenapa kontak yang langsung sangat penting? Karena kontak
langsung merupakan bentuk komunikasi yang paling sederhana. Terlebih lagi,
kontak tersebut berwujud fisik dan melibatkan partispasi setiap indera—apalagi
indera penciuman. Untuk alasan inilah bentuk kontak tersebut dapat dipercaya.
Kontak tersebut juga berguna bagi keamanan. Mereka yang berbicara mengenai
represi terus-menerus menyebarkan lembaran-lembaran kertas menanyakan nama,
alamat, dan nomor telepon.
Sudah banyak sekali pertemuan yang bertujuan membuat kontak
tapi pada kenyataannya hanya berupa kontak faksimil yang ganjil. Apa yang
paling buruk dari semua ini dan yang paling sering mengumpulkan orang-orang
adalah konferensi. Ini merupakan cara berpikir yang gampang yang merubah setiap
orang menjadi turis dan penonton. Bentuk terendah dari eksistensinya adalah
pertemuan tanpa henti—yang diadakan setiap malam.
Belum lagi komite-komite yang dibuat dengan cepat untuk
merancang pertemuan.
Prinsip mendasar dari kontak antarkolektif adalah: kalian
bertemu ketika memang ada yang perlu dibicarakan. Ini berarti dua hal.
Pertama, bahwa kamu sudah punya ide yang konkrit tentang apa
yang akan kamu katakan. Kedua, kamu harus merancangnya sebelum pertemuan.
Prinsip seperti ini akan memastikan bahwa komunikasi tidak akan menjadi masalah
administratif. Bentuk kontak yang baru harus diciptakan. Kami memikirkan satu
contoh. Seorang anggota satu kolektif dapat menghadiri pertemuan kolektif yang
lain atau mungkin akan diadakan pertemuan bersama antar setiap kolektif. Cara
yang pertama terkesan lebih praktis, meskipun, tak semuanya terlibat. Tidak
diragukan lagi bahwa banyak bentuk kontak yang akan berkembang.
Kuncinya, adalah bagaimana menciptakannya.
5. Aksi Lokal Sebagai Prioritas
Kolektif harus memprioritaskan aksi lokal. Ia menolak
politik massa kaum kulit putih nasionalis dengan komite-komite nasional,
pengorganisir, dan idola-idolanya. Jadi, kolektif seharusnya di luar dari
mainstream dan yang paling penting adalah tidak menyesalinya.
Tujuan kolektif adalah untuk meraih dan bertindak menurut
ide-ide baru—singkatnya, untuk menciptakan ruangnya sendiri. Dan hal tersebut
adalah yang paling penting bagi setiap kaum radikal Xerox yang berusaha
mereproduksi citra mereka.
Kolektif adalah tumpuan revolusi. Ia tidak berpretensi untuk
mengambil peran sebagai pelopor. Jangan mengharapkan apapun darinya. Kolektif
bukanlah pemimpinmu. Biarkanlah ia berkembang sendiri. Kolektif sadar bahwa
mereka adalah barisan yang paling akhir untuk memasuki dunia baru.
Keragu-raguan yang biasanya hinggap di pikiran setiap orang
tentang aksi lokal mengekspresikan ketergantungannya pada keglamoran politik
massa. Semua orang ingin memperlihatkan diri mereka ke atas layer
revolusi—seperti yang dilakukan Yippies(5) atau White Panters(6). Sebegitu
terinternalisasinya mereka dengan massa, mereka bertanya ke diri mereka
sendiri perihal apa yang paling logis dalam konteks tersebut. Bagaimana bisa
kami mencapai apapun tanpa aksi massa? Apabila kami tidak sama sekali menghadiri
pertemuan dan demonstrasi. Akankah kami dilupakan? Siapa yang akan menganggap
kami serius kalau kami tidak bergabung dengan mereka yang mempunyai status?
Perlahan kamu akan menyadari bahwa kamu terubah menjadi
seorang penonton, sebuah objek. Politikmu bertempat di atas panggung dan relasi
sosialmu adalah menjadi penonton yang duduk atau seorang partisipan di sebuah
demonstrasi massa yang ramai. Fragmentasi pengalaman keseharianmu
berlawanan dengan spektakulernya keterpaduan massa.
Di sisi yang berlawanan, prioritas aksi lokal adalah sebuah
upaya untuk menyatukan kehidupan sehari-hari dan memecah massa. Level kesadaran
seperti ini adalah suatu cara yang lahir melalui penolakan terhadap perilaku
massa yang bersandar pada Leninisme dan ideologi TV. Aksi tersebut memungkinkan
sebuah pelepasan `beban’ dari otak yang amat dibutuhkan oleh semua orang.
Kamu akan merasa lega ketika mengetahui bahwa kamu dapat menciptakan sebuah
situasi dengan melokalisasi perjuangan.
Bagaimana kamu membuat aksi lokal menjadi tidak provinsial?
Bagaimanapun semua ini bersandar pada keseluruhan strategi yang kita gunakan.
Provinsialisme terkadang adalah konsekuensi atau seringkali ketidaktahuan
mengenai apa yang terjadi. Sebuah komune, misalnya, adalah sesuatu yang
provinsial karena strateginya terbatas pada pertanian kecil dan glorifikasi
dari penyebaran komune yang serupa. Apa yang mereka miliki adalah astrologi dan
bukan sebuah strategi.
Aksi lokal harus berefleksi pada struktur global masyarakat
modern. Takkan pernah ada aksi kolektif tanpa kolektif-kolektif. Namun
penciptaan sebuah kolektif jangan dipahami sebagai kemenangan ataupun akhir.
Resiko yang sering dihadapi oleh kolektif sepanjang sejarah adalah
keterputusan (atau memutuskan diri) mereka dengan dunia luar. Permasalahannya
adalah aksi apa yang akan dilakukan dan kapan. Terjadinya kolektif sebagai
kekuatan sosial bersandar pada analisis sejarah dan alur dari aksi mereka
sendiri.
Malahan, “provinsi-provinsi” hari ini bergerak mendahului
pusat-pusat kesadaran dan motivasi politik. Dari Minnesota dan Mekong Delta,
pemberontakan mulai meraih koherensi. Pusat-pusat ingin mengartikan apa yang
terjadi, agar tetap terjaga akan apa yang terkandung di dalamnya. Karena alasan
ini mereka butuh bentuk organisasi yang tersentralisir—atau koordinasi—seperti
yang diistilahkan oleh kaum modernis.
Prinsip pertama aksi lokal adalah untuk mendesentralisir
pemikiranmu yang terkungkung nasionalitas. Bawa keluar negerimu dari Salem.
Keluar dari negeri Marlboro. Sadarlah bagaimana hidupmu diatur melalui
pusat-pusat nasional. Gaya hidup adalah peran-peran yang dirancang agar kamu
tetap berada di tempat. “Gaya adalah massa mengejar kelas, dan kelas
melarikan diri dari massa.” (W. Rauschenbush, “The Idiot God Fashion,” Woman’s
Coming of Age, eds Schmalhausen and Calvert, 1931).
Aksi lokal memberimu inisiatif dengan memampukanmu
mendefinisikan situasi. Itulah praktik untuk mengetahui dirimu sebagai subyek.
Marat(7) berkata: “Apa yang paling penting adalah mengangkat dirimu dengan
rambutmu sendiri, untuk merubah dirimu luar dalam dan melihat dunia dengan mata
yang segar.” Kolektif melihat ke luar dan dalam dan menangkap kenyataan.
6. Impian Persatuan
Prinsip persatuan lahir dari anggapan bahwa setiap orang
adalah sebuah unit (sebuah fragmen). Persatuan berarti kesatuan yang
memperbanyak dirinya sendiri. Kami takkan mengatakannya dengan
langsung—sebagaimana persatuan telah menghapuskan kenyataan setiap perbedaan
politis—kelas, rasial, seksual—bahwa hal tersebut merupakan bentuk tirani.
Impian akan persatuan pada kenyataannya adalah sebuah mimpi buruk
kompromi dan hasrat yang terkekang. Kita tidak setara dan persatuan
melestarikan ketidaksetaraan.
Kolektif akan menjadi subyek yang ditekan oleh grup-grup
diluarnya yang menuntut dukungan dalam berbagai bentuk. Setiap orang selalu
berada dalam krisis. Melihat situasi seperti ini, sebuah grup dapat terilusi
akan kesan bahwa mereka dimobilisasi secara permanen dan aktif tanpa memiliki
politik mereka sendiri. Seruan untuk bersatu mengalihkan energi politis kolektif
menjadi sekadar politik mendukung. Jadi, sebagai pencegahan, kolektif harus
mematangkan politik dan rancangan aksi mereka sendiri. Dan yang paling penting,
kolektif harus memahami terlebih dulu situasi krisis dan kecenderungannya yang
akan menuntut militansi dengan “menyewa banyak orang”.
Kamu akan dituduh faksionalisme. Jangan buang-buang waktu
mendengarkan tuduhan usang seperti ini. Kolektif bukanlah sebuah faksi. Untuk
merespon lonceng Pavlov berarti memposisikan dirimu menjadi seekor anjing yang
ngiler.(8) Takkan ada akhir dari kelaparanmu ketika hal tersebut ditentukan
oleh orang lain.
Kamu akan dituduh terlalu elitis. Hal ini cukup beresiko dan
jangan serta merta dinafikan. Pertama-tama,sebuah kolektif harus mengerti apa
yang dimaksudkan dengan elitisme. Ketimbang memposisikan tuduhan tersebut pada
kepemimpinan atau personalitas, pertama-tama, isunya harus ditempatkan pada
konteks kelas. Sadari dari mana sebenarnya ide-idemu berasal dan apa
hubungan ide tersebut dengan ideology dominan. Kamu juga harus bertanya hal
sama kepada mereka yang menuduhmu. Apa latar belakang dan kepentingan kelas
mereka? Sejauh ini banyak sekali orang yang bereaksi terhadap elitisme, dan
karenanya, berupaya untuk menghindari isu yang disebut barusan. Bahwa
hal tersebut dengan sendirinya adalah suatu reaksi kelas.
Internal adalah pancaran dari eksternal. Cara terbaik untuk
tidak berperilaku sebagai elit adalah untuk menghindari pembentukan elitisme di
dalam kolektif itu sendiri. Seringkali ketika tuduhan elitisme terbukti benar,
secara internalnya mereka merefleksikan relasi kelas yang serupa.
Ada banyak sekali cara-cara kotor untuk meruntuhkan otonomi
sebuah kolektif. Seruan untuk sebuah persatuan tak dapat lagi direspon secara
otomatis. Waktunya telah datang untuk mempertanyakan motif dan keefektifan
tindakan-tindakan tersebut—dan guna merasa tepat melakukannya, jargon adalah
celoteh burung yang bertujuan untuk membuat kita merasa tak berdaya dan bodoh.
Karena aksi kolektif tidak diorganisir secara massa, ia tak harus bersandar pada
seruan persatuan untuk melakukan tindakan.
“Apakah `satu terpisah menjadi dua’ atau `dua menjadi
satu’?” Pertanyaan ini merupakan sebuah subyek debat di China dan sekarang di
sini. Debat ini adalah perjuangan antara dua konsepsi dunia. Yang satu percaya
akan perjuangan, yang satu lagi persatuan. Kedua sisi ini telah menarik
garis yang jelas antara mereka dan argumen mereka yang berlawanan secara
diametris. Karenanya, kamu dapat melihat bagaimana satu terpecah menjadi dua.”
(Terjemahan bebas dari Red Flag, Peking, 21 September, 1964).
7. Kegunaan Analisa
Seperti halnya takkan ada revolusi tanpa teori revolusioner,
tanpa analisa takkan pernah ada yang namanya strategi. Strategi berarti
berasumsi ke depan mengenai apa yang akan kamu lakukan. Strategi lahir karena
ada analisis. Pada awalnya, kamu mungkin belum mengetahui apapun. Tujuan
analisa adalah untuk tidak selalu mengetahui semuanya, tapi untuk
mengetahui apa yang memang benar-benar kamu ketahui—secara kolektif. Esensi
berpikir secara analitik adalah bagaimana untuk senantiasa mengetahui bahwa
proses sama pentingnya dengan hasil. Mengembangkan suatu analisa membutuhkan
cara berpikir yang baru. Tanpa cara berpikir seperti itu, kita akan terjebak
dengan cara-cara lama. Pertanyaan tentang apa yang akan kita lakukan adalah
yang paling sulit dijawab dan sesuatu yang akan memastikan apakah kolektif
mampu terus bertahan. Susahnya pertanyaan tersebut membuat analisa menjadi
semakin penting. Kita tak seharusnya terjebak dalam bentuk-bentuk iklan yang
vulgar—slogan dan retorika. Fungsi analisa adalah untuk melahirkan sebuah
perencanaan tindakan.
Kenapa belakangan ini cukup sedikit analisis praktis tentang
apa yang terjadi sekarang? Beberapa orang ragu untuk menganalisa sesuatu yang
tidak mereka pahami. Biasanya karena orang-orang tersebut merasa diri mereka
tidak cukup mampu. Sebagian, hal seperti ini terjadi karena mereka belum pernah
melakukannya, oleh karena itu mereka tidak menyadari kemampuan mereka. Di
sisi yang lain lagi, banyak aktivis yang menganggap analisa sebagai kerja
“intelektual”—yang sebenarnya lebih merupakan sebuah komentar yang berasal dari
cara berpikir mereka sendiri. Dan yang terakhir, adalah mereka yang berpendapat
bahwa hal tersebut tidak diperlukan dan merasa tak nyaman ketika ada yang melakukannya.
Hal seperti ini seringkali merefleksikan disposisi kelas mereka.
Anggapan-anggapan semacam ini merupakan produk dari suatu karakter gerakan
yang, secara umumnya, masih tidak jelas.
Satu alasan dari asumsi-asumsi yang menyedihkan ini adalah
karena analisa tidak cukup memberi kepuasan. Ini adalah salah satu cara untuk
mengatakan bahwa analisa itu tidak praktis. Apa yang telah terjadi pada setiap
pemikiran lebih baik baik dilihat melalui degenerasi analisis kelas yang
menjadi definisi-definisi yang berlebihan, dan penuh bias. Diantara para
penggila teori absrak yang susah dengan para peneriak slogan abstraksi yang
mentah, kedua-duanya tidak memiliki perbedaan yang jauh. Teori menjadi dialek
robot-robot, sementara slogan adalah produksi massa dari pikiran. Tapi, bukan
berarti kita harus menafikan pemikiran ketika ide telah menjadi sedemikian
mekanis.
Banyak orang sadar bahwa mereka hidup di dalam masyarakat
yang belum terjelaskan. Setiap usaha untuk menggeluti permasalahan yang
tidak cukup umum biasanya menghadapi respon yang jelek. Orang-orang
tampaknya takut menganalisa diri mereka. Sebagian masalahnya ketika kita tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan mengungkap fakta bahwa kita tidak
mengetahui siapa diri kita. Motivasi untuk melihat dirimu secara kritis
dan untuk menjelaskan masyarakat hadir melalui keinginan untuk merubah
kedua-duanya. Inti permasalahannya adalah kita tidak secara konkrit
membayangkan kemenangan, kecuali mungkin, secara tidak sengaja.
Analisa berarti mempersenjatai otak. Kita dilumpuhkan oleh
mereka yang berkata bahwa analisa itu intelektual ketika sebenarnya analisa
adalah suatu alat imajinasi. Sebagaimana kamu harus menolak intelektualisme,
kamu juga tidak dapat bergerak dengan amarah yang gegabah—tidak, kalau kamu
memang ingin menang. Analisa seharusnya dapat membantu kita untuk
mengekspresikan kemarahan dengan pintar. Belajar untuk berpikir,
yaitu menganalisa, adalah satu langkah maju menuju aktivitas yang sadar.
Sudah pasti kamu akan merasa berat karena menurutmu hal
seperti itu terkesan sulit. Sebenarnya, masalahnya adalah kamu berpikir lebih
berat ketimbang kamu bergerak. Jangan terlalu dipersulit. Mulailah dengan apa
yang sudah kamu ketahui dan yang ingin kamu ketahui lebih jauh. Analisa dimulai
dari apa yang kamu minati. Pemikiran politis seharusnya menjadi bagian
dari hidup keseharian, dan bukan suatu privilase kelas. Untuk bisa menjadi
praktis, analisa harus memberimu pemahaman tentang apa yang dilakukan dan
bagaimana melakukannya.
Berpikir seharusnya membantu membedakan antara apa yang
penting dan yang tidak. Hal tersebut seharusnya dapat memperjelas hal-hal yang
kompleks agar kita dapat memahaminya. Runtuhkan semuanya. Dalam proses
menganalisa sesuatu kamu akan menemukan bahwa ada cara-cara lain untuk bergerak
yang tadinya belum terlihat ketika kamu baru memulainya. Itulah manfaat
yang menyenangkan dari analisa. Untuk menyelidiki suatu masalah merupakan suatu
permulaan untuk memecahkannya.
8. Format Baru yang Dibutuhkan
Kebutuhan akan format baru lahir dari kondisi format cetak
yang ada sekarang yang berfungsi sebagai alat penindas. Kita harus mempelajari
teknik-teknik periklanan. Iklan biasanya berisi pernyataan-pernyataan yang
pendek, jelas, dan non-retoris. Kata-kata iklan. Iklan sendiri
merepresentasikan keterputusan antara pendidikan kuliah dan kelebihan akan
kata-kata. Iklan adalah suatu formula yang terkonsentrasikan untuk komunikasi.
Kekuatan informasinya membuat sistem sekolah menjadi basi. Rahasianya adalah
untuk meraih kesenangan dalam menciptakan bentuk seperti halnya dengan
mengekspresikan ide.
Bagaimana bisa kita membela pengadopsian periklanan ketika
fungsinya sangat opresif? Sebagai suatu medium, menurut kami, periklanan
merepresentasikan mode produksi yang revolusioner. Penolakan terhadapnya telah
menghasilkan stagnansi pikiran kita dan suatu romantisisme kasar dalam
budaya politis. Mereka yang mengacuhkan periklanan berpikir dalam bahasa yang
usang. Menggunakan teknik periklanan merubah orang yang melakukannya. Hal
tersebut membuat menulis menjadi menyenangkan karena dalam bentuk cetaknya ia
juga berusaha membuatnya seperti oral.
Apa yang kami maksud dengan menggunakan teknik periklanan
adalah dengan menggunakannya secara fisik. Seringkali kita tak sadar akan
haltersebut dan, bila kita memang sadar, kita tidak mencoba
bertindak—membalikannya. Dasar periklanan adalah repetisi. Cara paling efektif
untuk membalikan periklanan adalah dengan membuat kontradiksi di dalamnya
menjadi telanjang. Iklankan hal tersebut. Kerapuhan periklanan terletak pada
kemungkinan untuk menggunakannya melawan para pengeksploitasi.
Jerry Rubin(9) berkata kalau media harus digunakan setiap
saat. Setidaknya ia cukup memahaminya. Jelas lebih baik daripada langsung
menafikannya yang belakangan ini tampaknya cenderung menjadi respon yang cukup
umum. Tentu saja, ada grup-grup yang berkata jangan sama sekali menggunakannya.
Dan mereka memang tidak menggunakannya. Mereka mungkin mematikan Jerry karena
teknik dasar media massa adalah ekspos yang berlebihan. Karena alasan itu juga
Jerry telah menulis memoarnya. Situasionis berkata: “Pemberontakan mengandung
ekspos yang berlebihan. Kita disuapi hal tersebut agar merenunginya, dengan
begitu kita lupa untuk berpartisipasi.”(10)
Kami tidak berbicara soal pengemasan politik. Rampart adalah
majalah Playboy orang kiri. Di sisi lain, terbitan bawah tanah bersifat
pornografis dan berlebihan. Proyektor warta berita berjalan mundur. Dan kenapa
di era majalah Kosmopolitan kita harus terbebani oleh Leviathan yang
membosankan? Kita lebih memilih membaca Fortune—majalah bagi “kaum pria yang
bertanggung jawab melakukan perubahan”—untuk analisa kita akan kapitalisme.
Hal ini tidak bisa ditawar lagi—kita butuh bentuk baru,
sepenuhnya bentuk yang baru. Jika tidak, kita takkan pernah mempertajam
kecerdasan kita. Untuk menjinakkan jampi-jampi percetakan dibutuhkan suatu
usaha sadar mencari bahasa yang baru. Kita jangan lagi didiamkan oleh kata-kata
orang lain. Jangan menunggu berita yang akan mengatakanmu apa yang sedang terjadi.
Buat tajuk beritamu seperti media-media pers lainnya. Potong majalah favoritmu
dan kombinasikan kembali. Potong kata-kata yang besar dan buat kata-kata kecil
darinya—seperti KRISIS LING KUNGAN. Yang kamu perlukan hanyalah sepasang
gunting dan lem kertas. Rusakkan imaji-imaji musuhmu. Ubah mereka dari Glad
menjadi Frankenstein. Buat potongan komik dari karya-karya seni yang mashyur.
Jangan biarkan apapun merusak kesenanganmu.
Jangan baca buku lagi—setidaknya jangan sampai kelar.
Seperti yang pernah dikatakan oleh G.B Kay dari Blackpool (mengutip orang
lain), “Membaca membusukan pikiran.” Pamplet lebih menyenangkan. Baca secara
acak, baca pinggir-pinggirnya dan kembali ke komik. Awalnya mungkin kamu harus
membaca Silver Surfer.
9. Swa-aktivitas
Cara kerja yang buruk dan perilaku yang teledor mengurangi
setiap kiat dalam hal pembangunan kolektif. Perilaku iseng, teledor mengartikan
bahwa kita tidak terlalu peduli dengan apa yang kita lakukan atau dengan siapa
kita melakukannya. Hal ini mungkin akan mengejutkan banyak orang. Faktanya
jelas: kita berbicara mengenai revolusi tapi bertindak secara reaksioner pada
level yang elementer. Ada dua hal mendasar yang menyebabkan keburukan semacam
ini:
· Ide orang-orang mengenai sesuatu yang akan terjadi
(seperti revolusi) mempengaruhi cara kerja kita.
· Latar belakang kelas memoles perspektif politis mereka
yang kasual.
Tidak diragukan lagi kalau generasi Pepsi secara politis
lebih hidup. Namun energi semacam ini diarahkan oleh para pengorganisir menjadi
rapat-rapat membosankan yang mereproduksi hirarki masyarakat massa. Setelah
beberapa saat, cara berpikir kritis terkikis dan orang-orang kehilangan rasa
ingin tahu mereka. Rapat menjadi suatu rutinitas seperti hal lainnya dalam
kehidupan.
Banyak permasalahan yang akan dialami oleh kolektif-kolektif
dapat ditelusuri melalui cara kerja yang dipakai dalam gerakan (massa).
Orang-orang melestarikan peran pasif yang telah membuat mereka terbiasa di
dalam rapat-rapat besar. Apa yang dimaksudkan dengan partisipasi massa
adalah apa yang kamu perlukan hanyalah hadir di sana. Cukup jarang orang-orang
mempersiapkan diri mereka untuk dating ke sebuah rapat, apalagi merasa
diharuskan melakukannya. Seringkali situasi ini tidak terbukti karena
segelintir orang yang melakukan kerja-kerja (yang menjalankan rapat tersebut)
membuat ilusi tentang pencapaian kelompok.
Karena orang-orang melihat diri mereka, secara esensinya,
sebagai obyek bukan subyek, aktivitas politis dimaknai sebagai suatu kejadian
di luar diri mereka dan terjadi di masa depan. Tak satupun orang yang berpikir
bahwa mereka yang membuat revolusi dan, oleh karena itu, mereka tidak mengerti
bagaimana mencapainya.
Keseriusan yang sangat singkat ini adalah salah satu gejala
politik instan. Sifatnya yang harus selalu merespon krisis menjadi penentu
keseriusan tersebut berlangsung—bahkan, seringkali tanpa ada dimensi waktu sama
sekali. Ketiadaan waktu ini dialami sebagai sinkopasi komitmen yang berlebihan.
Banyak orang mengatakan mereka bersedia tanpa lebih dulu berpikir apakah
mereka mempunyai waktu atau tidak. Mempunyai waktu berarti menegaskan apa yang
memang ingin kamu lakukan. Komitmen yang berlebihan adalah ketika kamu ingin
melakukan banyak hal dan berakhir tidak melakukan apa pun.
Sejumlah gejala-gejala lainnya dari politik “pada
umumnya”—kurangnya persiapan, terlambat, cepat bosan di waktu-waktu yang sulit,
dll, adalah tanda perilaku politis yang buruk bagi kolektif. Hal yang paling
penting adalah mengetahui bahwa permasalahan ini benar-benar terjadi dan
mengetahui penyebabnya. Ini bukanlah masalah-masalah personal tapi
perilaku yang diwariskan secara historis.
Banyak orang mencampur-adukan pemberontakan melawan bentuk
historis yang spesifik kerja yang terasing dengan aktivitas kerja itu
sendiri.
Pemberontakan ini diekspresikan melalui perilaku anti-kerja.
Perilaku terhadap kerja terpoles melalui hubungan kita
dengan produksi, yaitu kelas. Kelas adalah sebuah produk dari pembagian kerja
yang hirarkis (termasuk bentuk-bentuk lain yang terlepas dari kerja-upahan).
Ada tiga hubungan mendasar yang menghasilkan perilaku anti-kerja. Kelas
pekerja mengekspresikan perilaku anti-kerja mereka sebagai suatu pemberontakan
terhadap rutinitas kerja. Bagi kelas menengah, perilaku anti-kerja berasal dari
ideologi masyarakat konsumer dan berada di sekitar waktu luang. Stereotip
“orang local yang malas” atau “perempuan yang secara fisik lemah” adalah
perilaku anti-kerja ketiga yang berasal dari orang-orang yang tidak bekerja
untuk upah.
Impian akan otomaton (yaitu tidak bekerja) memperkuat prasangka
kelas. Kelas menengah adalah satu-satunya golongan yang mempunyai impian
seperti ini agar dapat memperluas orientasi aktivitas waktu luangnya. Bagi
kelas pekerja, otomaton berarti kehilangan pekerjaan, pengangguran, yang
berlawanan dengan waktu luang. Bagi yang berada di luar semua itu,
otomaton tak bermakna apa-apa karena tidak diterapkan pada cara mereka bekerja.
Otomaton bagi kelas pekerja telah menjadi ideologi bagi kaum
radikal post-scarcity—dari kaum anarkis di Anarchos sampai kelas pekerja baru SDS(11).
Perubahan teknologis telah menyelamatkan mereka dari dilemma analisis kelas
yang takkan pernah mereka pahami. Dengan dihapusnya perjuangan kelas pekerja
oleh otomaton (otomaton kelas pekerja) kaum radikal menjadi pengusung
aktivitas luang dan gaya hidup yang keturis-turisan. Perilaku anti-kerja
seperti ini menghasilkan citra kita yang utopian dan menggeser kita dari
sejarah. Perilaku semacam ini juga mencegah kita membangun swa-aktivitas dan
kolektivitas.
Permasalahan bagaimana merubah kerja menjadi swa-aktivitas
adalah yang paling utama dalam isu penghapusan kelas dan pengorganisasian
kembali masyarakat.
Swa-aktivitas adalah rekonstruksi kesadaran (keseluruhan)
aktivitas hidup seorang individual. Kolektif ialah apa yang membuat
rekonstruksi tersebut menjadi mungkin karena ia mendefinisikan individualitas
bukan sebagai pengalaman pribadi tapi sebagai suatu relasi sosial. Apa yang
penting untuk dilihat adalah kerja merupakan penciptaan aktivitas
yang sadar dalam struktur kolektif.
Salah satu cara terbaik menemukan dan menaruh perilaku anti
kerja pada tempatnya adalah melalui otokritik. Hal tersebut menyediakan sebuah
kerangka kerja obyektif yang menciptakan ruang bagi orang-orang
untuk dikritik dan menjadi kritis. Otokritik berlawanan dengan kesadaran diri
karena tujuannya bukanlah untuk mengisolasikan dirimu namun untuk membebaskan
kemampuan-kemampuan yang tadinya direpresi. Otokritik adalah suatu metode untuk
berurusan dengan pembangunan kesadaran dan perilaku yang seenaknya.
Untuk menelusuri pengaruh masyarakat di dalam diri kita dan
untuk meredefinisi relasi kerja kita, sebuah kolektif harus membangun
pengertian akan sejarah mereka. Salah satu hal tersulit adalah melihat hubungan
terdekat—di dalam kolektif—dalam pengertian politisnya. Kencenderungannya akan
menjadi cair, atau apa yang disebut Mao sebagai ”liberal”, mengenai relasi
antarteman. Aturan-aturan tidak dapat lagi menjadi kerangka kerja kedisiplinan.
Hal tersebut harus didasari oleh pemahaman politis. Salah satu fungsi analisa
di sini adalah untuk diterapkan secara internal.
Persiapan adalah bagian lain dari proses yang menciptakan
keberlangsungan antara rapat-rapat dan menjamin bahwa pemikiran kita tidak
menjadi suatu aktivitas paruh waktu. Hal tersebut juga mencegah kecenderungan
pembayangan yang terlampau jauh dan pelontaran ide-ide yang tidak jelas. Ketika
rapat menjadi abstrak dan acak hal tersebut terjadi karena ide yang
dikedepankan tidak bersahutan dengan pemikiran (atau analisa). Jarang sekali
terjadi investigasi yang mendalam dari apa yang diusulkan.
Apa maksudnya dengan persiapan sebelum rapat? Maksudnya kita
tidak datang dengan tangan atau kepala yang kosong. Mao berkata, “Tak ada
investigasi, berarti tak ada hak berbicara.” Misalkan sebuah kelompok telah
memutuskan apa yang akan dilakukan, langkah awal bagi setiapanggotanya adalah
menyelidikinya. Ini berarti menyempatkan waktu untuk memahami lebih jauh
masalahnya, sortir materi-materi yang cukup relevan dan usahakan membagikannya
pada setiap orang di dalam kolektif. Motif yang melatarbelakangi setiap
persiapan adalah untuk membangun sebuah analisis yang koheren. “Kita harus
menggantikan susahnya otokritik menjadi tangisan buaya,” menurut pepatah
baru Cina.
10. Perjuangan di Setiap Level
Perjuangan punya banyak wajah. Tapi tak satupun yang
benar-benar mirip. Seperti halnya Kubus, kita harus melihat suatu masalah dari
banyak sisi. Masalahnya adalah bagaimana mencari cara-cara agar dapat
menciptakan ruang bagi diri kita. Kecenderungannya sekarang adalah menuju dua
sisi yang melekat dalam setiap aspek kehidupan kita. Bahasa kita mengandung
pertanyaan yang menyuruh kita menjawab antara dua pilihan yang berlawanan. Kaum
imperialis menciptakan kaum anti-imperialis. Sebelum `sejuk’ ada panas dan
dingin. `Sejuk’ adalah usaha awal untuk mendobrak dua sisi tersebut. Dualitas
ini selalu menyempitkan dimensi-dimensi perjuangan dengan cara
mendefisinikan situasi secara dangkal. Kita akhirnya memiliki pemahaman yang
bersifat satu dimensi mengenai diri kita dan musuh kita.
Belajar untuk berpikir tajam. Yang senantiasa menjadi impuls
pertama kita adalah menentukan posisi. Kenapa kita merasa harus mengatakannya?
Kita menciptakan ruang dengan tidak tampil sebagai diri kita yang sebenarnya.
Ketajaman berpikir bukanlah suatu taktik defensif. Esensi dari hal tersebut
adalah belajar untuk memanfaatkan setiap kelemahan musuh. Kalau tidak, kamu
tidak akan pernah menang. Aturannya adalah: jujurlah diantara sesama
kalian, tapi musuh harus ditipu.
Sekurangnya ada tiga cara untuk berurusan dengan situasi.
Kamu bisa menetralkan, mengaktifkan, atau menghancurkan. Menetralkan adalah
menciptakan ruang. Mengaktifkan adalah meraih dukungan. Menghancurkan adalah
memenangkan. Terlebih lagi, sangatlah esensial untuk mempelajari bagaimana
menggunakan tiga-tiganya secara bersamaan.
Perjuangan dalam banyak level dimulai dengan mengaktifkan
setiap indera. Kita harus bisa memahami lebih dari satu cara untuk bertindak
pada situasi tertentu.
Kelanjutannya, yaitu metode perjuangan, harus mempunyai tiga
elemen:
· Sebuah cara untuk bertahan hidup
· Sebuah metode untuk membuat perpecahan di dalam arena
musuh
· Sebuah strategi bawah tanah
Kecenderungan mendasar liberalisme korporat adalah
menghubungkan dirinya dengan perubahan sosial dengan cara menampungnya. Akan
cukup ironis bukan (atau melegakan) bila kita dapat merubah ancaman kooptasi
menjadi senjata bertahan hidup?
Reaksi terhadap kooptasi biasanya membuat orang-orang
menghindari tantangan kaum korporat liberal. Beberapa kaum revolusioner murni
malah sama sekali menghindari pikiran untuk menggunakan kooptasi sebagai tujuan
mereka. Seringkali mentalitas “jabatan” tersebut mengaburkan potensi subversi.
Eksistensi liberalisme korporat menuntut kita untuk tidak
cair dalam hal berpikir dan merespon. Kuatnya posisi mereka seharusnya memaksa
kita mengenali kelemahan kita—bahkan ketika kita sedang bertempur melawannya.
Respon terburuknya adalah berpura-pura kalau musuh ini tidak eksis.
Perjuangan urban butuh suatu strategi subversif. Konkritnya,
bekerja `di dalam sistem’ seharusnya menjadi sumber keuangan, informasi, dan
anonimitas kita. Inilah apa yang disebut Mao sebagai, “Bergerak di malam hari.”
Rutinitas keseharian adalah malam hari bagi para musuh—ketika mereka tidak
dapat melihat kita. Proses kooptasi harus menjadi aktivitas mereka yang,
lama-kelamaan, tidak lagi terselubung.
Memanfaarkan perpecahan dalam wilayah musuh tidak dimaknai
dengan membantu satu musuh mengalahkan musuh lainnya. Tujuan utamanya adalah
untuk mempertahankan perpecahan. Ada perbedaan-perbedaan yang signifikan antara
setiap penindas. Perpecahan akan memperlemah mereka. Dalam situasi-situasi
tertentu perpecahan akan menyediakan kita langkah awal untuk melakukan manuver
yang mungkin saja cukup strategis buat kita. Pemikiran monolitis beresiko
membuat dirimu hanya bertindak dalam satu cara.
Ada kecenderungan dalam memandang bentuk reaksi yang paling
merosot sebagai musuh utama. Korporasi dengan sadarnya menawarkan ide-ide
seperti itu melalui film-film seperti Easy Rider yang juga dihubung-hubungkan
dengan anak-anak muda. Fungsi analisa adalah untuk meruntuhkan dan membedakan
kekuatan-kekuatan yang berbeda di wilayah musuh.
Ruang-ruang yang diciptakan oleh perpecahan ini sangat
penting bagi persiapan strategi jangka panjang. Akan menjadi semakin sulit
untuk bertahan dengan visibilitas yang telah disesuaikan untuk kita. Gaya-gaya
hidup yang mana kita mendeklarasikan oposisi kita merupakan target yang mudah.
Jangan sampai kita salah kaprah perihal level penampakan dalam pembuatan budaya
baru. Maksudnya adalah bagaimana tidak membuat gaya-gaya hidup ini menjadi suatu
puja-pujaan yang berlebihan. Dalam atmosfir penindasan yang psikadelik,
ketinggalan jaman itu cukup keren.
Selalu sisipkan sebagian strategimu di bawah tanah. Seperti
halnya analisis membantumu membedakan musuh guna menyediakanmu cara-cara
berbeda untuk menyerang. Mao berkata: “fleksibilitas adalah sebuah ekspresi
inisiatif yang konkrit.”
Menuju bawah tanah bukan berarti benar-benar tak terlihat.
Di lingkungan masa depan yang elektronis tempat persembunyian akan menyempit.
Bawah tanah yang paling berbahaya adalah yang mirip seperti bongkah es yang
mengapung. Peran-peran yang diciptakan untuk mengganti identitas kita dalam
keseharian harus menjadi samaran dalam bawah tanah.
Sebuah strategi bawah tanah menaruh impuls konfrontasi ke
dalam perspektif. Kita harus menentang konsep usang konfrontasi terencana yang
mengunci kita pada suatu rentang masa revolusi yang instan. Menuju bawah tanah
berarti mempunyai strategi jangka panjang—sesuatu yang direncanakan untuk tahun
2004. Strategi gumpalan es membuat kita santai. Hal tersebut melatih kita
agar dapat mengendalikan refleksi-refleksi dan memperhitungkan respon-respon
kita.
Strategi bawah tanah juga diperlukan untuk mempertahankan
otonomi. Otonomi melestarikan bentuk organisasi dari kolektif, yang perannya
cukup penting dalam hal menajamkan politiknya. Takkan ada yang tercapai dengan
melibatkan diri kita di kericuhan garis depan front-front revolusioner.
Strategi prinsipil orang-orang Kiri palsu adalah memoles perbedaan yang
bertujuan merengkuh sebuah persatuan kelas yang tidak lagi eksis. Sebuah
strategi bawah tanah tanpa bentuk organisasi yang revolusioner hanya akan
menghasilkan kelas yang baru. Untuk menghancurkan sistem penindasan tidaklah
cukup. Kita harus menciptakan organisasi untuk sebuah masyarakat yang bebas.
Ketika bawah naik ke permukaan, kolektif yang akan menjadi masyarakat
tersebut.
———————-
Notes
1. Chicago 7: Tujuh tokoh menonjol dalam gerakan Kiri
Amerika di era 60an yang dituduh melakukan konspirasi, makar dan dakwaan
lainnya terkait dengan protes-protes yang berlangsung ricuh di Chicago,
Illinois ketika Konvensi Demokratik Nasional diadakan pada 1968. Diantaranya
adalah Abbie Hoffman dan Jery Rubin (Lihat catatan 9). Yang terakhir
menjelaskan pengalaman tersebut di otobiografinya berjudul _Do it!_Scenarios of
the Revolution_, Touchstone, 1970. Awal mulanya mereka terdiri delapan orang
karena Bobby Seale, pendiri Black Panther Party, juga salah satu dari yang
tertuduh. Namun, karena alasan-alasan tertentu, ia disidangkan secara
terpisah.
2. Marshall McLuhan (1911_1980): Teoritisi komunikasi yang
sering dikutip, yang meramalkan internet sebelum adanya komputer-komputer
personal. Ia menulis buku Understanding Media_ 1964, yang melahirkan
istilah-istilah seperti medium is the message serta kampung global.
3. Alexandra Kollontay (1872_1952): Marxis dan agitator
Rusia yang berpartisipasi dalam revolusi Rusia 1917.
4. Alexandra Kollontay: _Workers_ Opposition_, Solidarity,
Pamphlet no.7, 1961.
5. Yippies: Lihat catatan 9.
6. White Panthers: Sekelompok aktivis kulit putih yang
mendukung organisasi separatis Black Panther Party.
7. Jean-Paul Marat (1743_1793): Ilmuwan, ahli fisika dan
pemimpin revolusi Perancis sebagai bagian dari faksi Jakobin. Ia seorang
advokat setia dari Rein Terror, yang kemudian dibunuh oleh seorang royalis di
dalam bak mandi. Suatu kultus personalitas modern yang mencengangkan
dibangun melalui dirinya.
8. Ivan Pavlov (1849_1936): Tak sengaja menemukan bahwa
ketika ia membunyikan lonceng sebelum memberi makan anajing-anjingnya, mereka
akan mulai mengeluarkan liur setiap saat mereka mendengarnya, meski belum tentu
mereka akan diberi makanan. Observasi seperti ini merupakan fokus pembahasan
Aliran Behavioris Psikoanalisa.
9. Jerry Rubin (1938_1994) dan kawannya Abbie Hoffman
(1936_1989) merupakan tokoh terkenal di gerakan protes Amerika pada akhir 60an
dan awal 70an. Rubin dan Hoffman beserta Yippiesnya adalah jembatan antara
intelektual-intelektual subversif dari universitas yang disebut-sebut sebagai
Kiri Baru dengan gerakan Beatnik dan Hippie yang apolitis.
Bacaan lebih lanjut: Do it!_Scenarios of the Revolution_,
Touchstone, 1970. Abbie Hoffman: _Steal This Book_, 4 Walls 8 Windows, 1996.
10. Mengutip pamplet klasik Situationist _On the Poverty of Student Life_.
Sebuah pamplet yang disebarkan di Universitas Strasbourg oleh anggota
Situationist International.
11. SDS. Students for a Democratic Society (Gerakan Pelajar
Untuk Masyarakat yang Demokratik): sebuah organisasi pelajar dan akar rumput
yang memprotes Perang Vietnam di tahun 60an. Pemimpin-pemimpin SDS juga
terlibat sebagai Chicago 7.
12. Mao Tse-tung: “Oppose Book Worship”, 1930.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar