A. PENGERTIAN
OTONOMI DAERAH
Istilah otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani
yaitu autos yang berarti berdiri sendiri, dan nomos yang
berarti peraturan. Oleh karena itu secara harfiah otonomi berarti peraturan
sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi
pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan
secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian dari
pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses mensejahterakan rakyat”, Menurut UU No. 32/2004 Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua komponen utama
pengertian otonomi, yaitu pertama komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan
kebijakan sebagai komponen yang mengacu pada konsep “pemerintahan” yang
terdapat dalam pengertian otonomi.
B. LATAR
BELAKANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Otonomi
daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat
di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa
perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah
daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan
diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari
daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa
cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam
mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat
semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta
sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada
ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta
dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati
ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan
kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk
aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen
dari APBN.
Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan
daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Dan otonomi daerah adalah
jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru.
Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma,
hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri.Prinsipnya,
daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali
yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan
kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah
daerah.Maka, tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan
otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan.
Tahun
1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan
Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5/1974 yang dianggap sudah tidak
sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan
keadaan.Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang
diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan
pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah,Secara khusus,
pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada
15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Diharapkan dengan adanya
kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan,
pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu
karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi
lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik.
Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro
strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons,
berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat
darinya.
C. PERMASALAHAN-PERMASALAHAN
YANG MUNCUL SETELAH PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH
Implementasi
Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika
diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan
implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi
dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu
adalah:
1. Kewenangan yang tumpang
tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai
oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan
yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih
rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan
ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi. Dengan
pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak mengejutkan pihak-pihak daerah yang
tidak memiliki sumber daya manusia kualitatif.Terjadilah artikulasi otonomi
daerah kepada aspek-aspek finansial tanpa pemahaman substatife yang cukup
terhadap hakekat otonomi itu sendiri.
2. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi
sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam
kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi
persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang
merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke
arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya,
keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga
dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan
kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
3. Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat.
Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar
pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang
membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami
kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan
kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan
”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan
profesionalitas jabatan.
4. Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan
otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari
induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi
konflik horizontal yang bernuansa etnis. Atau dapat dikatakan Bangkitnya
egiosemtrisme ditiap daerah.
5. Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran
kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih
efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba
memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan
politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan
seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6. Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti
dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini
disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman
terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak
berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan
lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir
pegawai di daerah.
7. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini
tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain
itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara
keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang
terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di
daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh
kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional
secara keseluruhan.
8. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah
ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur
di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada
langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan
suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak
kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard
yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu
pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus
dari sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar